Membedah Akar Masalah Revitalisasi Sekolah: Antara Feodalisme, Kepemimpinan Lemah, dan Konsultan, Titipan

Ulasanrakyat.Com – Musi Rawas. Program Revitalisasi Sekolah yang digadang-gadang menjadi salah satu Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) Presiden Prabowo Subianto di tahun 2025, pada dasarnya hadir dengan niat luhur memperbaiki infrastruktur pendidikan dan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, serta bermutu terutama bagi wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Namun, dalam perjalanan implementasinya di lapangan, program ini tak jarang menghadapi jalan terjal. Di balik semangat membangun kualitas pendidikan, muncul berbagai problem mulai dari salah kelola anggaran, lemahnya pengawasan, hingga munculnya perkara hukum yang menjerat sejumlah kepala sekolah dan tim pelaksana.

Lantas, mengapa revitalisasi yang seharusnya menjadi simbol kemajuan justru kerap tersandung masalah? Apakah karena sistem yang rapuh, atau budaya birokrasi yang masih feodal dan koruptif?

Salah satu akar persoalan yang kerap luput dari sorotan adalah feodalisme dalam birokrasi pendidikan.
Feodalisme sistem sosial yang berorientasi pada kekuasaan, bukan prestasi masih menjadi momok dalam pelaksanaan proyek pemerintah, termasuk revitalisasi sekolah.

Dalam sistem seperti ini, pemimpin lebih diposisikan sebagai raja kecil, sementara bawahan hanya pelaksana yang “manut” tanpa ruang kritis.
Kepala sekolah, yang seharusnya berperan sebagai manajer proyek, justru sering kehilangan otonomi karena tekanan dari atasan atau pihak tertentu.

Akibatnya, proses pengambilan keputusan menjadi stagnan. Kritik dari bawahan dianggap ancaman. Kreativitas tim mati sebelum berkembang. Padahal, revitalisasi sekolah mestinya mengandalkan kerja kolektif dan transparansi lintas pihak.

“Lebih berbahaya lagi bila atasan bersikap manipulatif,” tulis penulis analisis ini.
“Mereka bisa memanfaatkan loyalitas bawahan (kepala sekolah) untuk menekan, mengontrol, bahkan menggiring keputusan demi kepentingan pribadi atau institusi tertentu.”

Kondisi ini bukan hanya menurunkan kualitas kerja, tapi juga memicu konflik kepentingan dan hilangnya nilai profesionalitas dalam pelaksanaan proyek.

Masalah berikutnya adalah apa yang disebut paradoks pembangunan kontradiksi antara tujuan mulia pembangunan dan realitas pelaksanaannya di lapangan.

Secara teori, pembangunan pendidikan bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan setara. Tapi kenyataannya, dana besar yang dikucurkan pemerintah sering tak diimbangi oleh kapasitas SDM yang memadai.

Kepala sekolah yang sejatinya berprofesi sebagai pendidik dipaksa menjadi “kontraktor proyek”, padahal tak punya kompetensi teknis di bidang konstruksi.

“Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya,” (HR. Bukhari).
Hadis ini tampaknya relevan untuk menggambarkan kekacauan di banyak proyek revitalisasi yang gagal total karena salah urus.

Di banyak daerah, proyek berjalan tanpa perencanaan matang. Hasil bangunan cepat rusak, laporan keuangan bermasalah, bahkan beberapa kepala sekolah harus berurusan dengan aparat hukum karena kelalaian administratif yang berujung pidana.

Kepemimpinan menjadi variabel krusial. Kepala sekolah tidak hanya pemegang tanggung jawab administratif, tapi juga motor penggerak semangat tim.

Menurut KBBI, kepemimpinan berarti kemampuan “mengatur, menuntun, dan memengaruhi”. Dalam konteks revitalisasi, hal ini mencakup kemampuan kepala sekolah membangun visi, mengelola anggaran, dan memotivasi tim kerja.

Sayangnya, banyak kepala sekolah justru gagal memainkan peran strategis ini.
Ketika pemimpin tidak memiliki visi jelas dan strategi matang, yang muncul adalah arah kerja kabur, komunikasi tidak efektif, hingga pemborosan biaya yang akhirnya menggagalkan proyek.

Kepala sekolah idealnya menjadi figur yang menginspirasi, bukan sekadar “penerima perintah”. Ia harus mampu memimpin dengan teladan, terbuka terhadap kritik, dan menegakkan prinsip profesionalitas. Tanpa itu, revitalisasi hanya menjadi proyek formalitas tanpa makna substansial.

Selain kepemimpinan, aspek pengawasan dan konsultan proyek juga sering menjadi sumber masalah.
Dalam idealnya, pengawasan bertujuan memastikan proyek berjalan sesuai rencana, tepat anggaran, dan berkualitas tinggi. Namun dalam praktiknya, muncul fenomena konsultan titipan pihak yang ditempatkan bukan karena keahlian, tapi karena “hubungan kedekatan”.

Konsultan semacam ini sering abai terhadap kualitas, bahkan ikut bermain dalam manipulasi laporan teknis. Dampaknya, proyek molor, biaya membengkak, dan kualitas bangunan menurun.
Padahal fungsi konsultan mestinya menjadi penyeimbang profesionalitas, bukan pelengkap formalitas.

Oleh sebab itu, perlu pengawasan berlapis dan berkala dari semua unsur: pemerintah pusat, kepala sekolah, komite, dan masyarakat. Masyarakat lokal harus ikut mengawasi agar proyek benar-benar berpihak pada kebutuhan sekolah, bukan kepentingan kelompok tertentu.

Dari keseluruhan persoalan di atas, jelas bahwa kegagalan revitalisasi sekolah bukan hanya karena teknis semata, melainkan karena sistem nilai yang rapuh dari feodalisme, paradoks pembangunan, lemahnya kepemimpinan, hingga pengawasan yang tumpul.

Solusinya.
Pertama, kepala sekolah harus memperkuat fungsi kepemimpinan dengan visi jelas dan komunikasi terbuka.
Kedua, lawan feodalisme dengan membangun budaya kerja partisipatif dan transparan.
Ketiga, tingkatkan fungsi pengawasan independen dan hindari konsultan bermasalah.
Terakhir, libatkan masyarakat secara aktif agar revitalisasi benar-benar menjadi milik publik, bukan proyek elit birokrasi.

Program besar seperti revitalisasi sekolah akan berhasil hanya jika dijalankan dengan kejujuran, profesionalitas, dan integritas moral. Tanpa itu, program sebesar apa pun akan terjerat dalam lingkaran kegagalan yang sama membangun gedung, tapi meruntuhkan nilai.

(Rls/Red)

Exit mobile version